Monumen Gajah Mada

Jalan Raya Hang Tuah, Ujung, Surabaya Utara

Monumen Patih Gajahmada

Monumen Patih Gajahmada

Monumen Gaja Mada ini berada di Komplek Militer, Basis Koarmatim Surabaya, tepatnya Berlokasi tepat di tengah bundaran Kampung Seratus, DB AL, Ujung Surabaya. Di lokasi ini sebelumnya berdiri Monumen Meriam yang kemudian dibongkar pada tanggal 22 Agustus 2003, di ganti monumen Gajahmada. Monumen Gajamada sendiri  dulunya berada di depan Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Surabaya.

Monumen berbentuk sosok Gajah Mada dengan tangan kanan bertopang pada senjata gada. Patung Gajah Mada yang berdiri gagah perkasa ini di topang bangunan berbentuk mirip gapura atau tugu setinggi kurang lebih 2 meter. Secara keseluruhan monumen ini memiliki ketinggian 8 meter . Di bawah monumen terdapat kolam berbentuk persegi delapan.

Patung tersebut dibuat oleh Pelda Msn. Wibowo, dan bertepatan dengan HUT TNI pada tanggal 5 Oktober 2003  Monumen Gajahmada diresmikan oleh Kepala Staf Angkatan laut (Kasal) saat itu  Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh. Monumen tersebut dicanangkan sebagai titik tolak sebagai kebangkitan Angkatan laut RI untuk lebih maju, besar, kuat, profesional dan dicintai rakyat.

Sekilas tentang sejarah patih gajamada, selama menjadi patih mangkubumi patih Gajah Mada mengembangkan cita-citanya untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Armada lautnya digerakkan keseluruh penjuru Nusantara. Hingga akhir hayatnya Gajah Mada telah berhasil mempersatukan Nusantara.

Pembangunan patung gajah Mada ini merupakan gambaran cita-cita luhur persatuan Nusa dan Bangsa yang dewasa ini diwujudkan sebagai Wawasan Nusantara yang mengandung arti pandangan dan keyakinan. Wawasan Nusantara adalah wawasan yang memandang rakyat, Negara dan wilayah Nusantara baik darat, laut maupun udara sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.

 

(Sumber; www.tnial)

Monumen Dharma Samudera

 Jalan  Hang Tuah, Ujung, Surabaya

Monumen Dharma Samudra

Monumen Dharma samudra

Berdasarkan catatan kita, monumen berupa patung Komodor Jos Sudarso terdapat 3 buah monumen di surabaya.  Monumen Jos Soedarso  di depan Kobangdikal, Monumen  Yos Sudarso di jalan Rajawali dan satunya lagi Monumen Dharma Laut di Jl. Hang Tuah, Ujung.  Ketiga Monumen memperkuat identitas kota Surabaya sebagai kota bahari.

Monumen Dharma Lautan  berupa patung setengah badan Komodor Jos Sudarso. Monumen ini diresmikan oleh Panglima Komando Daerah Maritim IV Surabaya Komodor Laut Hamzah Atmohandojo pada tahun 1963.

Material patung terbuat dari bahan perunggu. Patung diletakkan pada bangunan berbentuk kubus dari beton dengan ukuran panjang Sembilan (9) meter dan lebar tiga (3)meter. Sedang tinggi keseluruhan landasan dan patung empat (4) meter. Pada bagian depan terdapat tetenger  tanda berupa prasasti yang berbunyi “ Monumen Dharma samudera “. Dibawah tetenger tersebut terdapat relief kapal cepat torpedo (KCT) RI Macan Tutul. Sedangkan dibawah relief tersebut terdapat pula prasasti tentang kepahlawanan prajurit yang gugur dalam Pertempuran Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.

(sumber; www. TNI.AL)

 

 

Monumen Pers Perjuangan Surabaya

Monumen Pers

Monumen Pers

Jalan Embong Malang, surabaya

Monumen Pers Perjuangan Surabaya adalah monumen yang khusus di dedikasikan untuk dunia pers di Indonesia. Monumen ini untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para wartawan saat terjadinya perang melawan penjajah. Perananan mereka sangat penting, karena mereka berita kemerdekaan dan perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia ter-ekspos ke luar negeri.

Beberapa benda bersejarah selama masa perjuangan dapat dilihat di museum ini seperti pesawat radio, transmitter dan receiver yang di gunakan untuk mendukung perjuangan merebut kemerdekaan RI. Selain itu terdapat pula prasasti yang bertuliskan bagaimana kisah monumen ini.

Prasasti tersebut bertuliskan begini: “Di Gedung Ini Tunjungan 100 pada tanggal 1 September 1945 didirikan Kantor Berita Indonesia / Antara yang mengabdikan perjuangannya untuk kemerdekaan Republik Indonesia.

Pelaku-pelakunya adalah: Bung Tomo, R.M. Bintarti, Amin Lubis, Wiwiek Hidayat, Lukitaningsih, Hidayat, Samsul Arifin, Mashud, Jacub, Abd. Wahab, Tuty Agustina, Soewadji Garnadi, Sudjoko, Sukarsono, Sutoyo, Suwardi, Sumardjo, Petruk Sumadji, Fakih Hasan, Ali Urip, Mulyaningsih, Kusnendar, W.A. Saleh, Sumadi Gadio, Atmosantoso, Hasan Basri, Suwardi, Alimun, Sudarmo Kuntoyo, Samidjo, Rakhmad, Sofyan Tanjung, Moh Sin, Giman, Sumarsono, Wiryo Suman, Rifai, Ismail, Pepsia Bintarti, Sudardjo, Anwar Noris, dsb.

Tengara ini diletakkan pada 13 Desember 1985 pada saat dilakukan jumpa ulang ex warga Kantor Berita Indonesia – Antara Surabaya 1945″

Dalam prasasti terssebut disebutkan kalau alamat gedung ini berada di Jalan Tunjungan 100, atau pada saat ini beralamat di jalan Embong Malang No 2.

Pada prasasti lainnya tertulis: “Setelah Kantor Berita Domei milik Jepang ditutup, para wartawan Indonesia mendirikan Kantor Berita Indonesia bertempat di gedung ini pada bulan Agustus 1945.  Setelah diintegrasikan dengan Kantor Berita Nasional Antara, namanya menjadi Kantor Berita Indonesia Antara.”

Sejarah Monumen Antara

Sejarah Monumen Pers Perjuangan Surabaya diawali dari rumah biasa. kemudian pada tahun 1886 berdiri sebuah toko serba ada bernama Simpangsche Bazaar yang didampingi sebuah kafe di sebelahnya bernama Bierhal. Toko tersebut sempat juga direnovasi pada tahun 1904. Kemudian sekitar dua dasawarsa kemudian atau tepatnya pada tahun 1925, Simpangsche Bazar dibongkar dan digantikan sebuah toko mobil. Namun toko ini tak bertahan lama, pada tahun 1928 berganti menjadi Toko Nam. Ketika Toko Nam pindah ke seberang jalan, bangunan itu kemudian dihancurkan dan dibangun bangunan baru yaitu Toko Kwang pada 1938. Bangunan itulah yang kini menjadi Monumen Pers Perjuangan Surabaya.

Pada tahun 1945, Setelah Jepang tak lagi berkuasa, kemudian alat-alat kantor berita tersebut seperti pesawat radio, transmitter dan receiver digunakan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dengan menerbitkan buletin yang diberi nama Siaran Kilat. Di gedung yang kini menjadi monumen inilah kegiatan itu dilakukan.

Pada 1 Oktober 1945, saat arek Surabaya melucuti persenjataan Jepang dan mengambil alih gedung-gedung mereka, tak terkecuali kantor Berita Domei yang terletak di Alun-Alun Strat 30 (kini di jalan Pahlawan 112 yang ditempati Gedung PT Pelni) yang kemudian dijadikan kantor Berita Indonesia. Meski demikian, di bangunan di Jalan Embong Malang tersebut masih difungsikan untuk menerbitkan buletin Siaran Kilat.

Patung Airlangga

Perempatan Jl. Kertajaya

Garuda Mukti

Garuda Mukti

Pada awalnya kami mengira Monumen Patung Airlangga itu berupa patung berwujud sang prabu Airlangga sendiri. Seorang raja yang memerintah kerajaan di Jawa Timur pada abad IX. Ternyata kami keliru, patung Airlangga berbentuk Patung Garuda Mukti.
Patung Airlangga sendiri berjumlah 2 buah patung, Yang saling berhadapan terpisah oleh jalan-perempatan. Satu patung garuda mukti menghadap ke arah barat dan satunya lagi menghadap ke arah timur.
Dalam kebudayaan Jawa Garuda mukti merupakan mahluk yang kuat, tangguh, kokoh, serta sakti.  Garuda Mukti sendiri merupakan tungganggan Bhatara Wisnu. Prabu Airlangga merupakan perwujudan dari Bhatara Wisnu. Setelah Raja Airlangga wafat tahun 1042, beliau diabadikan ke dalam bentuk patung Bathara Wisnu yang duduk dan menaiki Garuda Mukti.
Lalu mengapa monumen Airlangga bukan patung Prabu Airlangga, melainkan Garuda Mukti yang justru adalah tunggangan sang prabu? melihat monumen ini kami jadi ingat lambang universitas Airlangga. Monumen ini persis dengan lambang univrsitas Airlangga surabaya. Lambang universitas Airlangga sendiri bukan berbentuk Prabu Airlangga, melainkan Garuda mukti sedang membawa sebuah guci.
Berdasarkan penjelasan arti lambang universitas Airlangga, pada awal kelahiran Universitas Airlangga, rektor pertama menemukan meterai atau segel prabu Airlangga di Gedung Arca, Jakarta. Meterai Kerajaan tersebut menggambarkan burung garuda tunggangan Bathara Wisnu (Prabu Airlangga) yang membawa guci berisikan air amrta. Konon, air tersebut bersifat abadi. Maka dari itu, yang dipakai sebagai lambang Universitas Airlangga adalah garuda mukti, sebagai sumber ilmu abadi.
Dari penjelasan arti lambang Universitas Airlangga, juga bisa menjelaskan mengapa monumen Airlangga berbentuk patung Garuda Mukti.

Monumen Jenderal Sudirman

Jl. Yos Sudarso, Surabaya

Monumen Jenderal Sudirman

Monumen Jenderal Sudirman

 

Monumen  Jenderal Sudirman

Monumen Jenderal Sudirman

Monumen Jenderal Sudirman terletak di Jalan Yos Sudarso, Surabaya. Tempat Wisata Surabaya berbentuk Monumen ini terletak di tengah-tengah sebuah taman memanjang yang membelah Jl. Yos Sudarso.

Monumen ini didedikasikan untuk semua masyarakat Jawa Timur yang di gagas oleh Letnan Jenderal M. Yasin sebagai Komandan VII Brawijaya pada saat itu. Monumen Panglima Besar Djendral Soedirman diresmikan pada 10 November 1970 oleh Presiden Soeharto dalam rangkaian peringkatan Hari Pahlawan.

Di bawah patung itu telah dipahat beberapa kata dari Panglima Jenderal Soedirman yang menunjukan semangat untuk terus berjuang, mempertahankan tanah air, tidak pernah menyerah dan selalu berjuang bagi bangsa dan negara.

Patung Jenderal Sudirman dibuat pada posisi tegak, tangan disamping, ujung celana masuk ke dalam sepatu boot, dan sebilah pedang tampak menggantung di pinggang sebelah kiri. Pakaian yang dikenakan Jenderal Sudirman tampak menyerupai seragam PETA, kesatuan dimana Sudirman memperoleh pendidikan militernya.

Sudirman lahir dari ayah Karsid Kartowirodji, seorang pegawai Pabrik Gula Kalibagor, dan ibu bernama Siyem yang merupakan keturunan Wedana Rembang. Beliau ikut pendidikan formal di Sekolah Taman Siswa, dan kemudian di HIK (sekolah guru) Muhammadiyah Surakarta, meskpun tidak sampai tamat. Kemudian beliau menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Masuknya Jepang merubah jalan hidup Sudirman, dimulai ketika ia masuk menjadi bagian tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan mendapat pendidikan kemiliteran oleh tentara Jepang di Bogor (sekarang Museum PETA), kemudian menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah, dan Panglima Divisi V/Banyumas sesudah terbentuknya TKR dengan pangkat kolonel.

Sudirman adalah perwira PETA yang berhasil mendinginkan pemberontakan PETA Gumilir sehingga tidak sampai mengalami nasib seperti 6 perwira PETA Blitar, termasuk Supriyadi, yang dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang pada pemberontakan PETA Blitar. Supriyadi yang diangkat oleh Presiden sebagai panglima tertinggi TKR tidak sempat menduduki pos-nya karena keburu tewas.

Pada 12 Desember 1945, lima minggu setelah berakhirnya pertempuran Surabaya, Sudirman memimpin pasukan TKR dalam sebuah serangan serentak terhadap kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran yang kemudian terkenal dengan sebutan Palagan Ambarawa itu berlangsung selama lima hari dan berhasil memaksa pasukan Inggris untuk mundur ke Semarang.

Kemenangan di Palagan Ambarawa ini membuat Presiden Soekarno tidak memiliki alasan lagi untuk menunda pelantikan Sudirman sebagai Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI, yang dilakukan pada 18 Desember 1945, sekaligus memberinya pangkat Jenderal.

 Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada 29 Januari 1950 di usianya yang baru saja genap 34 tahun. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Pada 1997, pemerintah Orde Baru memberinya gelar Jenderal Besar Anumerta bintang lima, sebagaimana yang diberikan pemerintah kepada Soeharto dan AH Nasution.

 

 

Patung Kerapan Sapi

Monumen yang berupa Patung Kerapan Sapi berada di putar balik Jl. basuki Rachmad, Surabaya. Disebut patung kerapan sapi, karena berbentuk replika karapan sapi yang sedang dipacu oleh seorang Panongkek (Penunggang, red). Patung Karapan Sapi, demikian warga kota menyebut,  diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1990.

Patung karapan Sapi ini merupakan salah satu Mahakarya dari pematung I Nyoman Nuarta. Karya lainya dari pematung dari bali ini adalah Monumen Jalesveva Jayamahe. Patung kerapan sapi ini terbuat dari tembaga dan semen.

Kerapan sapi merupakan kesenian tradisional dari madura. Latar belakang penciptaan kerapan sapi berkaitan dengan upacara meminta hujan yang dilakukan oleh penduduk madura pada masa lampau saat kemarau panjang.

Perlengkapan kerapan sapi terdiri dari dua macam yaitu kleles dan thuk-thuk. Kleles yaitu alat yang dipakai untuk sepasang sapi yang dikerap agar keduanya berlari seirama. Dibelakang kleles duduk seorang joki yang bertugas mengendalikan arah dan larinya sapi. Sedang thuk-thuk merupakan instrumen pengiring pada saat kerapan.

Thuk-thuk dibawa berkeliling sebelum maupun pada saat berlangsungnya kerapan.

(Sumber ; papan Informasi replika kerapan sapi di Museum Mpu Tantular dan berbagai sumber)

Kunjungi → Peta Patung Kerapan Sapi

Monumen Alun-Alun Selatan

 

Monumen Pertempuran 10 Nopember

Monumen Pertempuran 10 Nopember

Monumen Pertempuran 10 NopemberKawasan Di mana monumen ini berada merupakan lokasi pertempuran 10 november 1945. Monumen Pertempuran 10 nopember  yang satu ini berada di antara Baliwerti dan Jalan gemblongan. Zaman dulu lokasi ini merupan alun-alun contong, atau alun-alun selatan.

Monumen peringatan ini berbentuk pejuang kemerdekaan, bersenjata bambu runcing. Di bawah patung ini tetenger yang menceritakan menceritakan peristiwa pertempuran 10 nopember di kawasan alun-alun selatan.

Gambar Plakat di samping kiri ini menjelaskan peristiwa pertempuran di area alon-alon selatan. Cuplikannya seperti ini…

“….surabaya menjadi lautan api dan bersamaan dengan itu bercucuran-lah tetesan darah dan gumpalan daging para Pahlawan Pejuang kemerdekaan yang telah mendahului kita gugur sebagai  Kusuma Bangsa.

Sifat kepahlawanan mereka adalah perwujudan yang nyata sebagai watak untuk rela berkorban, demi suatu tugas suci yang besar dan cita-cita yang besar pula yang tumbuh dari kesadaran tanpa pamrih akan dharma baktinya kepada panggilan tanah air …”

Monumen Pangeran Diponegoro

Monumen Pangeran Diponegoro

Monumen Pangeran Diponegoro

Pangeran Dipanegara merupakan salah satu Pahlawan Nasional yang berasal dari yogyakarta dan surabaya memiliki monumen ini. Monumen Pangeran Diponegoro berada di jalan Diponegoro surabaya, nama jalan yang sesuai dengan nama monumen. Diantara monumen-monumen yang mengunakan bentuk hewan kuda, monumen Diponegoro inilah yang menurut saya terlihat arsistik. Pose monumen ini menunjukan Sang Pangeran sedang “berperang”. Monumen-monumen yang ada di surabaya terutama yang memiliki aksi mengendarai kuda pada umumnya terlihat formal.

Bentuk tiang penyangga patung Pangeran Diponegoro beserta kudanya tidak kaku. Seperti potongan tanah area pertempuran yang dipotong lalu diangkut ke Surabaya. Di bawah tiang terdapat undak-undakan, serta dihiasi air mancur.

Keberadaan monumen ini memperkuat citra surabaya sebagai kota surabaya. Surabaya tidak hanya memiliki monumen-monumen “Pahlawan Lokal”, namun juga monumen pahlawan yang berasal di luar surabaya.

Monumen Patung Kuda

Monumen Kuda Putih

Monumen Kuda Putih

Surabaya memiliki beberapa monumen berbentuk kuda, baik monumen yang hanya berbentuk hewan kuda maupun dengan pengendaranya. Monumen kuda yang satu ini berada di Jl. HR Muhammad. Berbentuk sepasang kuda betina dan anaknya sedang berlari. Mohon maaf kami tidak mengetahui secara pasti nama monumen ini, namun kebanyakan warga kota menyebut dengan “patung kuda”

Monumen Mayangkara

Monumen Mayangkara

Monumen Mayangkara berada di Taman Mayangkara, depan Rumah Sakit Islam ( RSI ) Wonokromo-Surabaya. Tepatnya disamping jembatan Fly Over wonokromo.

Tujuan Monumen Kepahlawanan Mayangkara (demikian nama resmi monumen ini) untuk mengenang jasa-jasa Batalyon Djarot seperti tertulis Di plakat monumen. (Anda bisa melihatnya disini)

Monumen ini diresmikan pada tanggal 4 April 1945 oleh Panglima Komando Daerah Militer V Brawijaya Bapak Soelarso, Mayor Jenderal TNI.

Monumen ini berupa patung seorang Komandan tengah mengendarai kuda putih. Patung tersebut Mayor Djarot Soebiyantoro, Komandan Batalyon Infanteri 503 Mayangkara, dengan kuda putihnya yang bernama Mayangkara

Di bawah patung pengendara kuda ini terdapat dua panel relief dan tiga plakat ditubuh monumen. Dua panel relief menggambarkan perjuangan batalyon Mayangkara. sedangkan tiga plakat menerangkan perwsmian monumen, sejarah singkat batalyon Mayangkara dan perakata dari Letkol. R. Djarot Soebiantoro, komandan  Kompi batalyon 503 Mayangkara.

Anda bisa melihat galeri foto relief dan plakat tersebut disini.

Halaman 1 2